Minggu, 01 Februari 2015

HOT NEWS

  Eksekusi Mati Rani Andriani dan Lima Gembong Narkoba Asing Lainnya Menimbulkan Pro dan Kontra
    Fodimers... seperti yang kita ketahui, Kejaksaan Agung telah melakukan eksekusi mati kepada 6 terpidana kasus narkoba yaitu diantaranya Cardoso Moreira (WN Brazil), Namaona Denis (WN Malawi), Daniel Enamuo (WN Nigeria), Tommi Wijaya (WN Belanda), Rani (WN Indonesia). Rani Andriani alias Mellisa Aprilia yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI)  berusia 39 tahun telah dieksekusi mati pada tanggal 18 Januari 2015 sekitar pukul 00.00. Rani divonis mati lewat putusan pertama di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang pada pertengahan Agustus tahun 2000. Sejak saat itu, ia berulang kali mencari cara untuk bebas dari hukuman.
   Kebijakan yang dilakukan oleh presiden baru kita, Joko Widodo, memang menunjukkan sikap tegas yang bertujuan untuk membenahi Negara Indonesia dari maraknya pengedaran narkoba. Namun, langkah tegas dari Beliau rupanya menimbulkan pro dan kontra, dimana hal tersebut mempunyai sisi baik dan buruk untuk perkembangan Negara Indonesia. "Sebagai orang yang paham seluk-beluk kejahatan peredaran gelap narkotika, kami melihat eksekusi mati bukan jawaban untuk menekan angka kejahatan narkotik," kata pendiri 'Empowerment and Justice Action' (EJA) Surabaya, Rudhy Whedasmara. Meski menolak hukuman mati terhadap terpidana mati narkotika, Rudhy mengatakan kalau ini bukan berarti mereka mendukung bandar narkotika. "Kami sepenuhnya mendukung upaya penghukuman yang berat kepada gembong narkotika yang sesungguhnya, tetapi bukan hukuman mati, karena eksekusi bukanlah jawaban yang tepat" Menurut Rudhy, solusi yang tepat dalam memerangi peredaran gelap narkotika adalah negara seharusnya berupaya maksimal menjaga wilayah perbatasan Indonesia agar tidak sampai dimasuki oleh narkotika gelap.
   Rudhy Whedasmara mengatakan hukuman mati dan eksekusi mati telah terbukti gagal menurunkan angka kejahatan narkotika. Hukuman mati juga tidak berhasil mengurangi laju jumlah pecandu atau pemakai narkotika di Indonesia. "Perempuan di dalam bisnis narkotika tidak dapat dilepaskan dari bisnis perdagangan manusia maupun kekerasan terhadap perempuan akibat ketidaksetaraan jender. Terjeratnya perempuan di dalam kejahatan narkotika seringnya karena ditipu, dimanipulasi, dan diberi janji kosong," katanya. Ketika perempuan tersebut tertangkap karena narkotika, penegakan hukum secara buta menuduh mereka terlibat dalam rantai peredaran gelap narkotika dan luput melihat fakta bahwa mereka menjadi korban perdagangan manusia atau korban kekerasan dari pasangannya. Menurut pendapat Beliau, Rani Andriani merupakan contoh perempuan yang terjerat dalam kejahatan narkotika karena tertipu oleh mafia narkotika dan tertekan secara ekonomi dan psikologi. 
   Akan tetapi, menurut KPAI hukum mati gembong narkoda adalah wujud konkret perlindungan anak. Komisi Perlidungan anak Indonesia (KPAI) mendukung langkah nyata pemerintahan Joko Widodo dalam memerangi kejahatan narkoba dengan menghukum mati para gembong. Komitmen kuat tersebut merupakan wujud konkret pemerintah dalam perlindungan anak Indonesia. "KPAI prihatin peredaran ilegal narkoba demikian massifnya di tengah masyarakat dan terus menyasar ke anak-anak," kata Ketua KPAI, Asrorun Niam Sholeh. Menurutnya, angka prevalensi usia anak yang menjadi korban narkoba mengalami trend semakin dini. Narkoba telah mejadi ancaman serius bagi masa depan anak-anak Indonesia. "Untuk itu, langkah tegas terhadap penjahat narkoba tanpa kompromi adalah wujud konkret komitmen perlindungan anak, komitmen untuk selamatkan anak," katanya.
    Selain itu, langkah tegas Presiden Joko Widodo dalam menolak pemberian grasi terhadap terpidana mati kasus narkoba diapresiasi. Ketegasan Jokowi itu menunjukkan bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta itu tidak main-main dalam persoalan narkoba. Jokowi juga diharapkan dapat tegas dalam persoalan hukum lainnya. Sebelumnya, Jokowi berencana menolak 64 permohonan grasi terpidana mati kasus narkoba. Dari jumlah tersebut, beberapa permohonan diantaranya telah sampai di meja kerja Jokowi. Sementara sisanya masih berputar di lingkungan Istana. Jokowi beralasan penolakan ini untuk memberikan shock therapy kepada para pelaku kejahatan narkoba. Ia mengatakan bahwa terpidana mati narkoba yang ditolak permohonan grasinya sebagian besar adalah bandar yang atas perbuatannya dan kelompoknya dianggap merusak generasi penerus bangsa.

EST
*Dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar